Jumat, 12 November 2010

Cinta Seorang Ibu

Alkisah di suatu desa ada seorang ibu yang sudah tua hidup berdua dengan anak satu-satunya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit.

Sang ibu sering sekali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya. Adapun anaknya mempunyai tabiat yang sangat buruk, yaitu suka mencuri, berjudi, mengadu ayam, dan banyak lagi yang membuat si ibu sering menangis meratapi nasibnya yang malang. Namun begitupun ibu tua itu selalu berdoa kepada Tuhan, ”Tuhan tolong Kau sadarkan anakku yang kusayangi, supaya ia tidak berbuat dosa lebih banyak lagi. Aku sudah tua dan aku ingin menyaksikan dia bertobat, sebelum aku mati.”

Namun semakin lama si Anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk bui karena kejahatan yang dilakukannya.

Suatu hari ia kembali mencuri di sebuah rumah penduduk desa. Namun malang nasibnya akhirnya ia tertangkap oleh penduduk yang kebetulan lewat. Kemudian dia dibawa ke hadapan Raja untuk diadili sesuai dengan kebiasaan di Kerajaan tersebut. Setelah ditimbang berdasarkan sudah seringnya ia mencuri, maka tanpa ampun lagi si anak tersebut dijatuhi hukuman Pancung. Pengumuman hukuman itu disebarkan ke seluruh desa. Hukuman pancung akan dilakukan keesokan harinya didepan rakyat desa dan kerajaan tepat pada saat lonceng Istana berdentang menandakan pukul enam pagi.

Berita hukuman itu sampai juga ke telinga si Ibu. Dia menangis, meratapi Anak yang sangat dikasihinya. Sembari berlutut dia berdoa kepada Tuhan, ”Tuhan, ampunilah anak hamba. Biarlah hambaMu yang sudah tua renta ini yang menanggung dosa dan kesalahannya.” Dengan tertatih-tatih dia mendatangi Raja dan memohon supaya anaknya dibebaskan, tapi keputusan sudah bulat, si Anak tetap harus menjalani hukuman. Dengan hati hancur si Ibu kembali ke rumah. Tidak berhenti ia berdoa supaya anaknya diampuni. Karena kelelahan dia tertidur dan bermimpi bertemu dengan Tuhan.

Keesokan harinya, ditempat yang sudah ditentukan, rakyat berbondong-bondong untuk menyaksikan hukuman pancung tersebut. Sang Algojo sudah siap dengan Pancungnya, dan si Anak tadi sudah pasrah menantikan saat ajal menjemputnya. Terbayang di matanya wajah ibunya yang sudah tua, tanpa terasa dia menangis menyesali perbuatannya.

Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Sampai waktu yang ditentukan, lonceng Istana belum juga berdentang. Suasana mulai berisik. Sudah lima menit lewat dari waktunya. Akhirnya didatangilah petugas yang membunyikan lonceng di Istana. Dia juga mengaku heran, karena sudah sedari tadi dia menarik lonceng tapi suara dentangnya tidak ada.

Ketika mereka sedang terheran-heran, tiba-tiba dari tali yang dipegangnya mengalir darah. , darah tersebut datangnya dari atas, berasal dari tempat dimana lonceng diikat. Dengan jatung berdebar-debar seluruh rakyat menantikan saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber darah itu. Tahukah anda apa yang terjadi? Ternyata di dalam lonceng besar itu di temui tubuh si Ibu tua dengan kepala hancur berlumuran darah. Dia memeluk Bandul di dalam lonceng yang mengakibatkan lonceng tidak berbunyi, sebagai gantinya kepalanya yang terbentur ke dinding lonceng.

Seluruh orang yang menyaksikan kejadian itu tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si Anak meraung-raung memeluk tubuh ibunya yang sudah diturunkan. Dia menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan susah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng, untuk menghindari hukuman pancung anaknya.

------------------------------
Demikianlah, sangat jelas kasih seorang ibu untuk anaknya, betapapun jahatnya si anak. Marilah kita mengasihi orang tua kita masing-masing, selagi kita masih mampu karena mereka adalah sumber kasih sayangNya bagi kita di dunia, Amin....

Rabu, 03 November 2010

17 एकोर untuk 3 anak

Dijaman Sahabat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah hiduplah seorang sufi yang memiliki 3 orang anak, beliau sudah sangat sepuh. Dipenghujung akhir hidupnya sang sufi tersebut berwasiat kepada ketiga anaknya.

Wasiatnya berbunyi, aku mempunyai 17 ekor domba, ketika aku meninggal maka ke-17 ekor domba itu adalah milik kalian, ingat bagikan ke-17 ekor domba itu sesuai dengan hitungan yang aku tentukan. Pertama, untuk anak paling besar maka hak memiliki domba adalah sebanyak 1/2 dari jumlah domba yang ada, untuk anak kedua adalah 1/3 dari jumlah domba yang ada, dan untuk anak ketiga adalah 1/9 dari jumlah domba yang ada. Tapi ingat, dalam membagikan setiap bagian tersebut, jangan sekali-kali menyembelih domba tersebut, dengan kata lain pembagian domba haruslah dalam keadaan hidup. Apabila kalian merasa kesulitan menentukan jumlah pembagian domba tersebut, maka carilah orang yang berilmu, dan ketika kalian menemukannya, maka orang tersebut pantaslah kalian menyebutnya guru.

Selang beberapa lama sang sufi meninggal dunia, maka untuk melaksanakan wasiat ayahnya, ketiga anak sang sufi berusaha membagikan warisan domba dengan hitungan yang telah ditentukan. Akan tetapi mereka merasa kesulitan, karena ternyata angka 17 sangat sulit untuk dibagi 2, dibagi 3 ataupun dibagi 9. Sangat mustahil membagikan ke-17 domba tersebut dengan tanpa harus menyembelihnya terlebih dahulu. Akan tetapi wasiat sang ayah mengharuskan domba dibagikan dalam keadaan hidup.

Maka bersepakatlah ketiga anak sufi tersebut untuk mencari orang berilmu yang bisa menyelesaikan masalah mereka.

Lama berkelana sambil membawa-bawa ke-17 ekor domba warisan orang tua, akhirnya sampailah mereka ke hadapan Sahabat Ali bin Abi Thalib, dimana beliau saat itu telah menjadi seorang khalifah. Mereka menghadap Khalifah dan menceritakan semua masalah mereka.

Sambil tersenyum Khalifah Ali menjawab.... Ambilkan satu ekor domba miliku dan berikan domba miliku tersebut pada mereka bertiga. Setelah ketiga bersaudara terebut menerima domba pemberian sang khalifah, maka Khalifah Ali berkata, aku telah memberikan domba miliku pada kalian, sekarang aku akan membagikan warisan orang tua kalian sesuai wasiatnya, tapi ingat aku meminta satu ekor domba yang tadi aku berikan untuk dikembalikan padaku. Bagaimana? akhirnya mereka bertiga mengiyakan apa yang diminta khalifah.

Lalu mulailah khalifah membagi, domba kalian sekarang berjumlah 18, maka anak pertama mendapatkan warisan dombanya adalah 18 x 1/2, jadi jumlah domba miliknya adalah 9 ekor. Anak kedua karena mendapat warisan 1/3 maka jumlah domba warisannya adalah 6 ekor karena 1/3 x 18 adalah 6, dan anak ketiga yang mendapat 1/9 mendapatkan 2 ekor domba karena 18 x 1/9 adalah 2. Sekarang kalian jumlahkan, berapa warisan orang tua kalian yang kalian peroleh semua? anak pertama 9 ekor + anak kedua 6 ekor + anak ketiga 2 ekor, sama dengan 17 ekor, maka satu ekor yang aku berikan pada kalian akan aku ambil kembali.

sebagai bahan renungan.....
Free Blogger Templates